PENGERTIAN DAN FUNGSI AGAMA
I. PENGERTIAN
Terdapat tiga istilah yang sering digunakan untuk mengambarkan sebuah
konsep hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, atau pemaknaan terhadap
penyerahan, ritual dan persepsi adanya “realitas” diluar manusia, yaitu :
Agama, Religion dan Ad Dien.
Agama
Agama yang dalam bahasa Sangsekerta berarti tidak kacau (a = tidak dan
gama = kacau) dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan
Tuhan-Nya dalam kerangka kepatuhan terhadap aturan untuk mewujudkan
kehidupan yang sejahtera, damai, selamat dan tentram. Dengan demikiran
prinsip dan misi agama pada hakekatnya adalah berusaha mewujudkan
kehidupan yang tidak kacau. Walaupun demikian, konsep kedamaian dan
kesejahteraan boleh jadi hanya bersifat sementara dan duniawiyah saja,
sedangkan prinsip kesejahteraan yang abadi boleh jadi tidak menjadi
prioritas keberagamaan.
Dalam memberlakukan agama sebagai instrument mewujudkan kesejahteraan
dan keda-maian hidup, munculah tafsiran-tafsiran agama yang berbeda-beda
– yang cenderung men-jadi sebuah pergulatan pemikiran tersendiri dalam
kajian ilmu agama terutama dipandang dari sisi kebenaran keimanan dan
kepercayaan serta aktualisasi peribadatan mereka dan keterkaitannya
dengan hasil akhir yang didapat, misalnya balasan amal di akhirat (Surga
dan Neraka menurut agama Islam atau Nirwana dan Hukum Karma menurut
agama Hindu).
Aplikasi hubungan dengan eksistensi yang transendent melahirkan berbagai
konsep agama dan aktualisasinya. Di Indonesia berkembang pemikiran
bahwa setiap sesuatu memiliki “roh” yang didalamnya tersimpan kekuatan
magic dan mistik yang luar biasa. Konsep animisme menjadi wujud adanya
hubungan antara manusia dengan eksistensi yang transendent dan sudah
barang tentu sangat abstrak dan cenderung tidak dapat dijelaskan
realitasnya baik dari segi dogmatik maupun dari segi nalar – kemudian
berkembang menjadi dinamisme.
Prinsip-prinsip Dinamisme nampak lebih aplikatif dan kongkrit, karena ia
mampu menje-laskan wujud eksistensi yang transendent dalam beberapa
eksistensi yang profan (tidak suci dan bersifat kebendaan). Ia
menganggap bahwa semua benda atau benda tertentu memiliki kekuatan supra
natural (mana/magic/tuah) yang ditunjukkan lewat kehebatan yang diluar
kelaziman. Kekuatan eksistensi yang transendent tersebut ternyata tidak
hanya masuk pada benda tertentu, melainkan masuk juga pada binatang atau
hewan tertentu yang kemudian dikenal dengan “Totemisme”, misalnya sapi,
ular dan kucing.
Religion
Pada terminologi lain ditemukan kata-kata “Religion” untuk menggambarkan
hal yang sama dengan agama. Dalam An English Reader’s Dictionary
terdapat tiga kemungkinan kata yang berkait dengan Religion, yaitu
Religi, Religion dan Religious atau Releigiousitas. Pertama; Religi
dalam tinjauan antropologi sering dikaitkan dengan ritual (upacara
agama/ ibadah) untuk menundukkan kekuatan gaib terutama pada masyarakat
primitif. Perwujudan dari konsep Religi tersebut adalah ritus dan
peribadatan dalam agama, pengusiran dan penundukkan kekuatan gaib berupa
praktek mistik dan magic dan masih banyak lagi – baik dalam tataran
tingkat modern maupun tingkat tradisional. Artinya sesekali pada
masyarakat modern masih dijumpai ritus-ritus tertentu dan untuk
kepentingan tertentu – misalnya ritus yang didasarkan pada ramalan
perbintangan (astrologi-horoscope).
Kedua; Religion digambarkan sebagai sebuah konsep atau aturan yang
mendasari prilaku Religi atau ritus-ritus tersebut. Dengan demikian
Religi atau ritus dalam agama tertentu tidak akan mungkin ada jika
konsep atau aturan agamanya tidak ada. Dalam An English Reader’s
Dictionary karangan A.S. Homby dan E.C Pamwell, disebutkan bahwa
“Religion is a system of faith and worship based on such belief” (sistem
kepercayaan dan penyembahan yang dibangun berdasarkan keyakinan
tertentu). Maka Religion dalam pandangan seperti ini hanya memuat dua
unsur yaitu :
a. Faith (kepercayaan – artinya adanya persepsi yang sadar tentang
eksistensi kekuatan diluar manusia yang memperngaruhi kelangsungan hidup
mereka).
b. Worship (peribadatan/penyembahan – artinya perlu adanya perwujudan
ritus yang kongkrit sebagai penghambaan dan ketertundukkan manusia
terhadap kekuatan tersebut, misalnya dalam bentuk sesaji, kurban dll.).
Dalam pemikiran yang cukup sederhana – ternyata untuk membuat sesuatu
itu menjadi agama hanya diperlukan dua komponen yaitu komponen
kepercayaan (faith) dan penyembahan (worship). Prinsip minimal
pembentukan agama tersebut menyisakan permasalahan yang cukup rumit
yaitu mampukah agama tersebut mewujudkan pribadi yang sejahtera, damai
dan selamat terutama untuk untuk kehidupan akhirat yang justru menjadi
tujuan utama beragama. Sebab tidak jarang kita menemukan sekte atau
aliran yang hampir menjadi sebuah agama, tetapi mereka justru
menyesatkan dan mencelakakan pemeluknya.
Oleh sebab itu dalam pandangan saya – agama yang dibentuk berdasarkan
prinsip mini-malis tersebut perlu diwaspadai, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Dr. Nurcholis Madjid – “Kepercayaan yang benar akan
melahirkan kedamaian, kesejahteraan dunia dan akhirat, sedangkan
kepercayaan yang salah akan menyesatkan hidup, merusak dan membahayakan
bagi pertumbuhan kebudayaan dan manusia serta anti terhadap keselamatan
hidup.
Ketiga; Religious (Religiousitas) adalah sebuah sikap yang nampakdalam
prilaku seseorang yang terinternalisasi oleh nilai-nilai atau
ajaran-ajaran agama. Sikap tersebut menjadi parameter terhadap asumsi
seberapa tinggi tingkat penghayatan dan peng-amalan mereka terhadap
nilai atau ajaran agama tersebut. Semakin sejahtera, damai dan tentram,
maka menunjukkan semakin tinggi pula penghayatan dan pengamalan terhadap
ajaran agama – demikian juga semakin keras, kasar, tidak adanya
toleransi dan jaminan keselamatan dan kesejahteraan, maka semakin
gersang dan tidak nampak prilaku keagamaan dalam hidup mereka, boleh
jadi sampai pada satu asumsi bahwa agama tidak dibutuhkan oleh mereka.
Ad Dien
“Ad Dien”. Kata Ad Dien dengan mudah dapat kita temukan di dalam al
Qur’an, karena kata tersebut adalah kesatuan tentang ajaran agama Islam.
Dalam kajian ilmu keislaman pada masa salaf, semua jenis ilmu agama
yang bersumber pada al Qur’an dan Hadits dinamakan dengan “Tafaqquh
fid-Dien” – baik itu menyangkut kepercayaan (aqoid), peribadatan dan
hukum-hukumnya (ubudiyah dan syari’ah) dan konsep-konsep keagamaan
lainnya (Muamalah siyasiyah) sebagaimana disebutkan dalam Al qur’an
Surat At Taubah ayat 122.
Belakangan rumpun Ad Dien dikembangkan berdasarkan spesifikasi kajian,
sehingga menjadi disiplin ilmu yang bermacam-macam dengan sistematika
dan metodologi yang berbeda, sedangkan ad Dien itu sendiri menjadi rumah
besar bagi rujukan dan keabsah-an keilmuan Islam.
Didalam al Qur’an kita menemukan banyak sekali kata-kata ad Dien, namun kalau diklasifikasikan hanya memiliki tiga arti yaitu :
Aturan-aturan agama sebagaimana firman Allah dalam Qs Asy Syuura : 13 dan 21 dan Qs. Al Haj : 78)
Ketaatan, kepatuhan dan keihlasan sebagaimana tersebut dalam Qs. Az Zumar : 3 dan 11, Al Bayyinah : 5)
Hari kiamat atau hari Agama atau hari pembalasan (Al Fatihah : 4, Ash
Shoffaat : 20, Ash Shod : 78; Adz Dzaariat : 13; al Waaqiah : 56; al
Mudatsir : 46; Al Ma’arij : 26; al Infithar : 9, 10 dan 17 dan Al
Muthoffifin : 11).
Ketiga unsur pengertian tersebut memilki keterkaitan yang sangat erat,
Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya menurunkan aturan-aturan agama
untuk dijadikan pedoman mengarungi kehidupan dunia. Pedoman tersebut
memerlukan ketaatan dan kepatuhan serta keihlasan yang maksimal dari
manusia itu sendiri agar terwujud sisi ideal moral yang diinginkan oleh
setiap aturan. Sebetulnya Allah tidak membutuhkan ketaatan atau
kepatuh-an dari manusia, sebab Allah sudah memberikan kebebasan memilih
bagi manusia – apakah manusia mau beriman atau tidak (Qs. Al Kahfi :
29), juga tidak ada paksaan dalam agama, karena telah nyata perbedaan
antara jalan kebenaran dan kesesatan (Qs. Al Baqoroh : 256). Kepatuhan
dan ketaatan tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan hasil yang maksimal
dari aktifitas dan pengamalan terhadap ketentuan tersebut. Setiap hukum
dan peraturan memer-lukan kesadaran dan keihlasan dari pelaku untuk
menghasilkan atau mewujudkan maksud diadakannya hukum tersebut yaitu
keselamatan, ketentraman, keteraturan dan kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita temukan orang-orang yang
mengikuti atau menjalankan hukum atau agama secara lahiriyah, tetapi
secara batiniyah (tidak nampak) ia mempermainkan hukum atau aturan
agama. Aturan agama dapat dijalankan secara lahiriyah dan batiniyah,
maka disinilah pengertian Ad dien yang ketiga berfungsi – Allah akan
menen-tukan dengan sebenar-benarnya siapa hamba-Nya yang ikhlas dan
patuh pada saat hari pembalasan amal yaitu pada hari kiamat nanti.
Menurut Ulama fiqih; Ad Dien didefinisikan sebagai
الدين هو وضع الهي سائق لذوي العقول باحتيارهم الي الصلاح في الحال والفلاح في الماًل
Artinya : Agama adalah ketentuan-ketentuan Allah yang diberikan kepada
manusia yang berakal untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia di dunia
dan keselamatan hidup di akhirat”
Dari pengertian tersebut terdapat tiga hal yang sangat penting untuk diperhatikan, yaitu
a. Bahwa Ad Dien itu adalah aturan-aturan Allah – artinya segala bentuk
hukum dari agama itu bersumber dari Allah, Nabi Muhammad SAW hanya
menyampaikan risalah tersebut kepada manusia tanpa dikurangi atau
ditambahi sedikitpun.
Diberikan kepada manusia yang berakal. Memahami konsep manusia yang
berakal dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu berakal dalam konteks
syar’iyah dan berakal dalam konstek kesadaran berfikir.
Berakal (Baligh) dalam konsteks syar’iyah adalah situasi dimana
hukum-hukum tentang kewajiban dan larangan agama dibebankan kepada
manusia. Indikatornya adalah ketika manusia mampu memberikan alternatif
dan solusi terhadap permasa-lahan hidup dengan sadar (kemampuan akliyah)
dan Baligh berarti telah sampai pada masa kematangan reproduksi nya
yaitu dengan keluar sperma bagi kaum laki-laki dan menstruasi bagi kaum
wanita. Terhadap orang yang hilang kesa-darannya baik karena gila, tidur
atau lupa, maka hukum-hukum taklifi tidak berlaku atasnya – artinya
tidak berhak atas dosa atau hukuman, jika ia melakukan kesalahan.
Sedangkan berakal dalam konteks kesadaran berfikir dapat dibedakan
menjadi dua; Pertama yaitu kemampuan mengurai setiap permasalahan dalam
kerangka analitis sistematis; misalnya dalam tinjauan sebab, akibat dan
solusinya dengan dasar ilmu yang realible – dus kemampuan tersebut lebih
mengarah pada aspek intelektualitas seseorang. Kedua; yaitu kesadaran
hati (berfikir dengan hati nurani) terkadang seseorang memiliki
kepandaian intelektual, tetapi ia tidak memiliki kepan-daian “Hati
Nurani/Qolb”. Ia mengingkari hukum, melakukan zina, mencuri atau
perbuatan melanggar hukum agama lainnya. Secara akal dia tahu bahwa zina
itu haram karena sejelek-jeleknya perbuatan dan jalan kehidupan, tetapi
akalnya tidak mampu menjelaskan hal tersebut didepan gelora Hati dan
nafsu syetannya – maka ketika itu ia tidak berakal sebagaimana firman
Allah dalam Qs. Al A’raf : 178
Jika ia mampu menggunakan akal secara benar untuk memahami dan
menjalankan aturan Allah tersebut, maka ia akan mendapatkan kehidupan
yang bahagia di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Artinya bahwa
akal yang benar akan membawa pada pilihan yang benar terhadap apa yang
diberikan oleh Allah – dan hal tersebut menjadi modal untuk memperoleh
kebahagiaan.
Kebahagiaan hidup di dunia berdimensi sangat luas dan abstrak. Standar
keba-hagiaan tidak dapat diukur dengan seberapa banyak ia mempunyai
harta benda melain-kan lebih mengarah kepada kenyamanan, ketentraman dan
kemampuan mengendalikan diri. Rasulullah mengatakan :”bukanlah kaya itu
karena ia memiliki harta benda, melainkan adanya kelapangan hati”. Oleh
sebab itu, agama tidak menjanjikan langsung melimpahnya harta kekayaan
melainkan kemantapan bathin yang berujung pada komit-men dan keuletan
berusaha. Bagi mereka dunia adalah tempat persinggahan sementara dan
permainan yang melenakan (Qs. Ali Imron : 185, Al An’am : 32 dan Hadid :
20), oleh sebab itu kekayaan yang paling sempurna adalah ketenangan
dalam menjalankan agama itu sendiri (Qs. Al Maidah : 3).
Sedangkan keselamatan hidup di akhirat adalah keberhasilan seseorang
dalam mempertanggung jawabkan semua aktifitas pelaksanaan amanat hidup
sebagai hamba Allah (Qs. Adz Dzariat : 56) dan sebagai Kholifah (Qs. Al
Baqoroh : 30) yang sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah. Pada
masa tersebut, manusia tidak dapat mohon bantuan kepada sesamanya, sebab
pada hari itu semua dihisab amal-nya dengan seadil-adilnya. Harta benda
dan anak istrinya yang dulu dibanggakan, sudah tidak dapat dibanggakan
lagi – yang ada hanya “Rahman dan Rahimnya” dzat yang Maha Kuasa (Qs. Al
Baqoroh : 48, 123 dan 281)
Di samping Ad Dien, terdapat juga kata “Millah” sebagaimana disebut
dalam beberapa ayat al Qur’an, misalnya Qs. Al Baqoroh : 130 dan 135.
Secara subtantif kata “millah” memiliki arti sebagai “jalan atau gaya
hidup” yang dikembangkan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Oleh
sebab itu keluasan cakupan Millah tidak dapat melebihi cakupan Ad Dien,
karena Millah bisa saja dikembangkan berdasarkan nilai subtansial dari
Ad Dien, sedangkan Ad Dien terkadang tidak memasukkan millah dari
beberapa Nabi atau Rasul sebelumnya, misalnya Dienul Islam yang dibawa
Nabi Muhammad tidak memasukkan ajaran atau berpuasa sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi Dawud.
Terdapat 10 ayat yang menjelaskan penggunaan kata “Millah” dan
kesemuanya dikaitkan dengan cara dan gaya hidup Nabi Ibrahim/ملة ابراهيم
(Qs. Al Baqoroh :130 dan 135, Ali Imron : 95, An Nisa’ : 125, Al A’am :
162, Yusuf : 37-38, An Nahl : 123, Al Haji : 78 dan Shad : 7). Nabi
Ya’kub yang merupakan cucu nabi Ibrahim, juga memberikan justifikasi
jalan hidup kepada anak-anaknya dengan prinsip “millah Ibrahim” yang
bebas dari unsur kemusyrikan.
Dengan demikian subtansi Millah Ibrahim memiliki kesesuaian dengan
prinsip-prinsip tauhid yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah.
Pengertian Millah sebagai jalan hidup atau style sebuah masyarakat juga
nampak pada penggunaan kata millah dengan bentuk lain sebagaimana
tersebut pada Qs. Al Baqoroh : 120, Al A’raf : 87-88, Ibrahim : 13 al
Kahfi : 20. Secara khusus dalam Qs. Al Baqoroh : 120 – kata-kata Millah
dikaitkan dengan gaya hidup atau bahkan keyakinan kaum Yahudi dan
Nasrani yang datang sebelum Nabi Muhammad menyampaikan risalah Islam.
II. PERBANDINGAN ANTARA AGAMA, RELIGION DAN AD DIEN
Persamaan
Agama, Religion atau Ad Dien memiliki kesamaan pandangan dalam 3 hal
walaupun pada titik tertentu, aplikasi dan realitas spiritualnya
berbeda. Ketiga hal tersebut adalah :
1. Pengakuan adanya yang Maha Kuat – yang berada diluar jangkauan
manusia (immatrial atau transendentt) dalam bahasa Islam disebut dengan
Allah (Tuhan).
2. Adanya kehidupan sebagai tempat pembalasan amal manusia, baik itu
langsung maupun tidak langsung, misalnya Surga dan Neraka (Islam) atau
Nirwana dan Hukum Karma (Hindu-Budha).
3. adanya peribadan atau ritual yang merupakan perwujudan hubungan
antara ma-nusia dengan yang Maha Kuat – tentu dengan berbagai bentuk dan
tata caranya.
Perbedaan
1. Tata nilai yang dikembangkan oleh Ad Dien (agama samawi) berasal dari
Wahyu Allah, sedangkan Agama dan Religion berasal dari refleksi manusia
terhadap peris-tiwa yang terjadi dilingkungannya.
2. Kebenaran yang dibawa oleh Ad Dien bersifat mutlak/absolut – karena
ia datang dari Allah (Qs. Al Baqoroh : 147 dan Ali Imron : 60) ,
sedangkan Agama dan Religion bersifat Dzanny (spekulatif/sementara) –
karena ia datang dari manusia yang lemah, tak berilmu dan hanya
persangkaan saja ( Qs. Al Baqoroh : 78-79).
3. Ad Dien menjamin bagi pengikutnya dengan “keselamatan dan
kebahagiaan” (Qs. Ali Imron : 85), sedangkan Agama dan Religion tidak
menjaminnya bahkan di antaranya ada yang berujung dengan kebodohan,
kesengsaraan bathin dan kese-satan hidup (Qs. Al Baqoroh : 170 dan Al
Anbiya’ : 52-54).
4. Ad Dien mengajak pada pemeluknya untuk menghambakan kepada Pencipta
sekalian, sedangkan agama dan Religion terkadang mendorong pada
penghamba-an kepada sesama makhluq dan belenggu-belenggu Thogut lainnya.
III. FUNGSI AGAMA BAGI MANUSIA
Amat beragam orang mempersepsi keberadaan agama bagi manusia – sebagian
diantara mereka melihat agama sebagai beban yang amat berat – yang
mengganggu aktifitas kehidupan mereka sehari-hari. Frederich Engle dan
Karl Marx membandingkan agama yang abstrak dengan kebutuhan-kebutuhan
manusia yang serba materialis. Bagi mereka agama tidak dapat mencukupi
kebutuhan manusia terutama dalam pemenuhan ekonomi dan status sosial –
diperlukan usaha keras untuk merubah keadaan sosial dengan perjuangan
kelas dan bukan dengan khutbah-khutbah agama. Jadi agama (“Tuhan”) tidak
diperlukan dalam proses tersebut, maka tidaklah heran kalau doktrin
yang mereka kembang-kan adalah hancurkan agama karena candu bagi
masyarakat.
Setali tiga uang dengan Frederich Nieztche – filosof eksistensialis asal
negara Jerman. Ia mengatakan bahwa dogma-dogma agama yang dikembangkan
oleh para rahib dimaksudkan untuk menafikan peran sentral manusia yang
berasal dari kekuatan fikir manusia. Jadi manusia membutuhkan agama
karena potensi dilemahkan oleh agama itu sendiri. Agar manusia tidak
dibodohi oleh agama dan sudah barang tentu Tuhan, maka manusia harus
menjadi kuat (superman) dan untuk itu sangat perlu dikembangkan slogan
“Tuhan telah Mati/The God is Dead” dalam diri manusia.
Dalam pandangan Islam, agama sangat penting karena ia menjadi modal
dasar dilahir-kannya manusia di dunia untuk melengkapi kemampuan
jasmaniyah. Potensi beragama atau kebenaran yang dimiliki oleh manusia
ada sejak manusia dalam arwah dengan merujuk khusus pada pengakuan Allah
sebagai Tuhan (Prinsip monotheisme) sebagaimana disebut dalam Qs. Al
A’raf : 172. Oleh sebab itu pengingkaran terhadap eksistensi agama dan
Tuhan menjadi sebab awal terjadinya keterpurukan rohani atau spiritual
manusia. Mereka dapat membanggakan diri dengan popularitas dan
intelektualitas yang dimiliki, tetapi mereka tidak tentram, damai dan
tenang dalam kehidupannya dan bahkan ia merasa asing dengan lingkungan
tempat mereka tinggal. Jean Paul Sartre – sastrawan dan juga filosof
Perancis abad 19 mengakui keterpurukan spiritualitas dirinya dalam pesan
terakhir sebelum ia melakukan bunuh diri.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, maka agama memberikan nuansa tersendiri dalam kehidupan manusia, yaitu :
1. Membawa manusia pada jati dirinya yaitu adanya kesadaran spiritual dengan memahami adanya realitas lain selain manusia.
2. Membimbing manusia agar menemukan jalan kehidupan yang tenang,
tentram dan sejahtera, karena tujuan beragama agar manusia berjiwa suci
dan berakhlaq mulia atau membawa dan membina manusia dan masyarakat
menjadi baik.
3. Membimbing manusia agar menemukan jalan menuju kebahagian hidup di
dunia dan keselamatan hidup di akhirat dengan jalan tunduk pada kemauan
dan kehendak rahman rahim Tuhan
4. Memberikan pedoman kepada manusia agar ia dapat mewujudkan fungsi
rahmat bagi alam sebagai tindak lanjut tugas kekhalifaan, juga
mengajarkan pentingnya menentukan hal-hal yang utama dan membatasi
hal-hal yang tidak terlalu utama (tidak penting).
5. Agama memberikan pedoman untuk nentukan kreteria perbuatan baik atau
jahat; dengan harapan manusia dapat menghindarkan diri dari perbuatan
jahat yang dianggap dapat mengotori kesucian jiwa bagi yang
mengerjakannya. Dalam konsteks ini agama menentukan norma-norma kebaikan
dan kejahatan. Ia menentukan pula peraturan-peraturan yang harus
dipakai oleh manusia dalam hidup kemasyarakatannya, agar ia jauh dari
kekotoran dan kejahatan.
SUMBER : http://ululazmi-zabaz.blogspot.com/2009/01/pengertian-dan-fungsi-agama-sebuah_06.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar